BAGAIMANA
pun seorang istri ada di bawah tanggung jawab suaminya, namun tidak
demikian dengan posisi seorang suami terhadap istrinya. Seorang isteri
berhak mendapatkan suami yang berhias sebagaimana suami berhak atas
isteri yang berhias untuk suaminya. Berhiasnya suami disesuaikan dengan
kondisi dan situasi agar keharmonisan rumah tangga dan isteri tidak
berpaling kepada laki-laki lain.
Saat ada yang menegurnya ketika
ia mencukur jenggotnya, Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya aku berhias
untuk isteriku sebagaimana ia berhias juga untukku. Aku tidak suka hanya
mengambil hakku saja yang ada padanya, tapi ia pun berhak mengambil
haknya yang ada pada diriku. Allah berfirman, ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.’
(Al Baqarah: 228)”Isteri
juga berhak diajari berbagai persoalan agama atau menghadiri
kajian-kajian keilmuan, sebab kebutuhan itu untuk memperbaiki kualitas
agama dan menyucikan jiwanya. Isteri adalah bagian dari keluarga yang
harus dijaga suami agar tidak menjadi bahan bakar neraka. Dan penjagaan
dirinya itu adalah dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih
itu harus berdasarkan ilmu dan pengetahuan, sehingga ia dapat
melaksanakannya sesuai yang diperintahkan syariat.
Pernikahan
dalam Islam selalu menyediakan hak dan kewajiban yang saling melengkapi
dan berkebalikan. Hak isteri merupakan kewajiban suami, dan hak suami
merupakan kewajiban isteri.
Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Di
antara hak suami terhadap isteri adalah menaati suami dalam hal-hal yang
bukan maksiat, isteri menjaga kehormatan dirinya dan harta suami,
menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami,
tidak bermuka masam di hadapannya, dan tidak menunjukkan sikap yang
tidak disenangi.” (Fiqih Sunnah).
Seorang wanita yang menikah
meletakkan ketaatan utamanya bukan lagi pada kedua orang tuanya. Sejak
akad nikah diucapkan, maka tanggung jawab terhadapnya dan ketaatan oleh
dirinya berpindah kepada lelaki yang menjadi suaminya.
Dari Aisyah, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Siapakah
orang yang wajib diutamakan haknya oleh seorang perempuan?’ Rasulullah
mejawab, ‘Suaminya.’ Aku bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang wajib
diutamakan haknya oleh seorang laki-laki?’ Rasulullah menjawab,
‘Ibunya.’” (HR Hakim)
Ketatan dan kesyukuran isteri kepada apa
yang diberikan dan diperintahkan suami kepadanya akan membawa implikasi
yang panjang hingga ke akhirat. Ia akan membawa seseorang menuju neraka
atau surga.
Termasuk ketaatan adalah dalam urusan seksual. Jika
seorang suami menghendaki berhubungan dengan isterinya, isterinya
tersebut tidak boleh menolaknya meskipun ia dalam kesibukan. Bahkan jika
saat itu ia sedang dalam kondisi haid karena suami masih boleh
mencumbui isterinya di bagian atas. Namun, hendaklah para suami juga
memperhatikan kondisi isterinya untuk mengajaknya berhubungan karena hal
ini lebih mendekatkan pada kuatnya hubungan kasih sayang. Seorang
perempuan yang haid biasanya sedang dalam kondisi fisik dan psikis yang
tidak stabil.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Jika
suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu dia menolak ajakan
tersebut hingga suami menjadi marah, para malaikat akan melaknatnya
sampai tiba waktu pagi.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Kewajiban
taat kepada suami ini hanya dalam hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at
karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.
Suami juga
berhak mendapatkan seorang isteri yang cantik dengan berhias, seperti
memakai celak, pacar, wangi-wangian, atau alat hias lainnya, khusus
untuk suaminya.
Dari Karimah binti Hamam, bahwa ia bertanya kepada
Aisyah, “Bagaimana pendapatmu, wahai Ummul Mukminin, tentang hukum
memakai pacar?” Aisyah menjawab, “Kekasihku, Nabi, menyukai warnanya,
tapi membenci baunya. Beliau tidak mengharamkan kamu memakai pacar
antara dua masa haid atau setiap kali datang haid.” (HR Ahmad).
Sumber : islampos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar