KISAH
di bawah ini beredar di berbagai forum, fanpage facebook, dan blog.
Entah siapa yang menuliskannya, namun satu hal yang pasti, kita bisa
memetik pelajaran sangat banyak darinya. Semoga peristiwa di bawah ini
membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku
membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang
kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar
menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku
membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak
pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, setiap hari aku
melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya
karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan
siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya
mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja.
Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian
rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan
hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti
semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku
selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang
diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci
ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku,
aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan
rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku
sedang bersenang-senan g dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih
untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau
mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi
rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari
aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun
hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun
menolak menggugurkannya .
Itulah kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar
dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan
tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan
semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama
kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun
paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan.
Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar
anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa
mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya,
saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena
merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum
ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak.
Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya
dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga
beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika
mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke
salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam
kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang
tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan
kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun
betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di
rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak
menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf
sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil
maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau
tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan
dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar.
Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian,
handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang
sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang
ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku
kembali menutup telepon.
Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan
bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang
sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan
turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga
mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah
berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering
teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku
diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum
lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam
beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,
“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,
ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang
dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya
menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan
bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa
pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku
menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai
di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di
sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di
depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena
selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya
setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku
telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan
stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar
kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di
kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak
yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali
tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan
aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru
kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas.
Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.
Saat itulah dadaku
menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh
tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan
kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu
selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku,
mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata
tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua
bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu
saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua
pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman
tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi
dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali
kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus
kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak
pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku
kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan
karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai
dan tidak disukai.
Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku
adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya,
karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir
tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan
diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang
kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut
malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak
pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat
pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat
tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu
apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan
rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan
sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka
kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah
terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal
kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan
ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat
suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika
aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti
biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di
dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya
setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di
kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di
sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di
kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong
dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan
meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi
komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih
tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi
tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan
pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa
disembunyikanny a, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap
bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan
itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku
sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena
baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu.
Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.
Aku
sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena
menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah
menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah
padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga
untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain,
hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian
suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang
menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama
ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku.
Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang
kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk
kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak
pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihatnya aku
terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku
selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk
keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun
soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku
takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya
takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku
hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur
oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku
datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu
notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia
mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya
dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun
adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf
karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku
tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu
yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik
yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku
ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan
kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi
sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah
aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang
bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan
yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis,
sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang
terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan
kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik
dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena
ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan
Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak
yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan
disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu,
ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa
selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari
hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari
hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil
meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa
menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku
tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak
mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari
demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan
mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya , tak satupun
meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini
kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku
menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu,
aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga
bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil
berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu,
cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena
cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima
kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikanny a atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku
menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai
ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah
karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku
mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas
darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya
yang begitu tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar